Dalam #KrisisSahamGorengan2019 ini, saya menyebutkan bahwa korban terbesarnya adalah mereka yang berinvestasi pada produk pasar modal yang berbasis pada saham syariah.

Kita itu.. saat ini, saat tulisan ini dibuat di bulan Januari – Februari 2020, sedang berada dalam #KrisisSahamGorengan2019.

Dalam #KrisisSahamGorengan2019 ini, saya menyebutkan bahwa korban terbesarnya adalah mereka yang berinvestasi pada produk pasar modal yang berbasis pada saham syariah. Kalau secara grafis.. saya mungkin sudah sering menampilkan mengenai bagaimana penurunan nilai dari Reksadana Syariah selama #KrisisSahamGorengan2019 ini.

Ah.. itu hanya perasaan dari Dik Pak Tommy saja… (pake intonasi pemain sinetron). Bagaimana Pak Tommy bilang begitu.. ingat loh Dik Pak Tommy.. Vietnam itu lebih kejam daripada Pembunuhan. Fitnah itu sangat kejam karena Amerika saja pernah kalah disitu. Dik Pak Tommy omong yang bener lah…

Hehehe… begini. Mari saya tunjukkan.. mengapa saya menyebutkan bahwa Saham Syariah atau Investasi dengan thema Syariah adalah Korban Utama daripada #KrisisSahamGorengan2019.

Ceritanya begini:

Anda mungkin sudah pernah membaca tulisan saya sebelumnya mengenai beberapa model pergerakan harga yang terdapat pada Bursa Efek Indonesia. Dari tulisan itu, bisa dilihat bahwa salah satu model pergerakan harga adalah model pergerakan harga dari saham-saham Big Caps seperti dibawah ini.

Saham Big Caps adalah Saham utama penggerak sebuah indeks

Nah.. sekarang begini:

Fund Manager adalah Penggerak Utama dari pergerakan sebuah Indeks. Kalimat sebenarnya mungkin adalah ‘Investor Institusional’ adalah Penggerak Utama dari pergerakan sebuah indeks. Investor Institusional ini adalah mereka yang mengelola duit orang lain dalam bentuk institusi, seperti Reksadana, Dana Pensiun, dan Asuransi. Investasi dari dana yang dikelola oleh investor institusional ini, dikomandoi oleh seorang Fund Manager. maka saya menyebut Fund Manager sebagai Penggerak Utama dari pergerakan sebuah Indeks.

Motif utama dari seorang Fund Manager untuk bertransaksi, tidak semata-mata adalah Profit. Memang.. Profit adalah tujuan dari seorang Fund Manager dalam mengelola dana karena orang mempercayakan duit dikelolakan kepada mereka agar duit itu bisa berkembang, duit itu bisa memperoleh profit. Akan tetapi, tujuan utama dari seorang Fund Manager sebenarnya tidak hanya semata-mata profit, karena ada tujuan yang lebih tinggi dari ‘hanya sekedar profit’ yaitu: Memperoleh Tingkat Keuntungan yang Lebih Baik dari Benchmark.

Tugas dari Fund Manager adalah Mengalahkan Benchmark

Kalau kita berbicara Investasi Saham di Indonesia, berarti Benchmark adalah IHSG. Dalam ‘kacamata IHSG’, ‘Keuntungan diatas Benchmark’ berarti: ketika IHSG bergerak naik, dia harus bisa memperoleh profit lebih tinggi dari kenaikan IHSG. Di sisi lain, dalam kondisi IHSG bergerak turun, Fund Manager harus mampu tetap untung, atau setidaknya ‘mengalami kerugian yang lebih kecil dari penurunan yang dialami oleh IHSG

Contohnya begini:

  • Ketika market bullish, IHSG bergerak naik 15 persen selama satu tahun. Kalau Fund Manager harus ‘mengalahkan benchmark’ maka ditahun yang sama, Fund Manager harus mampu memperoleh keuntungan lebih besar dari 15 persen.
  • Ketika market bearish, IHSG turun 8 persen dalam satu tahun. Kalau Fund Manager harus ‘mengalahkan benchmark’, maka di tahun yang sama, Fund Manager harus mampu mencetak untung, atau kalaupun rugi, kalaupun nilai dari dana kelolaan tersebut mengalami keuntungan, maka kerugian yang terjadi harus bisa kurang dari 8 persen di tahun itu.

Mengapa Fund Manager harus bisa mengalahkan Benchmark Indeks? Ya karena basis dari Industri ini memang tetap saja profit. Fund Manager yang lebih pintar, yang lebih terhormat, yang bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, yang bisa bekerja pada institusi yang lebih baik, lebih terkenal, lebih mentereng, adalah fund manager yang berkinerja lebih baik dalam mengalahkan indeks benchmark.

Fund Manager ‘mengalahkan benchmark Indeks’ untuk mendapatkan prestise (dan tentu juga pendapatan) yang lebih tinggi

Sekarang begini:

Sebuah indeks itu, biasanya tidak hanya terdiri dari ‘beberapa saham yang bisa dihitung dengan jari satu tangan’. Tentu saja tidak. Sebuah angka Indeks Harga, itu biasanya terdiri dari berpuluh-puluh saham, beratus-ratus saham, atau bahkan beribu-ribu saham. Kalau indeks seperti IDX 30 atau LQ-45 misalnya, jumlah sahamnya terlihat hanya sedikit, masih dibawah 50 saham. Tapi.. kalau indeks SP500 misalnya, itu terdiri dari 500 saham. Russel 2000, itu terdiri dari 2000 saham. atau IHSG saja deh.. itu kan ‘broad market Indeks’ … indeks yang terdiri dari semua saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. Seorang Fund Manager, tentu saja tidak mungkin berinvestasi pada seluruh saham itu, tentu saja tidak. SP500 misalnya, gak mungkin seorang Fund Manager mengelola portfolio berisi 500 saham. IHSG misalnya, gak mungkin seorang fund manager mengelola portfolio dari AALI hingga ZBRA, dari UNVR hingga BNBR.. tidak mungkin.

Angka Indeks adalah suatu angka yang ada di masa kini, yang dibandingkan dengan dengan suatu angka dimasa yang sudah lampaui. Dalam kasus IHSG misalnya, posisi IHSG terakhir, adalah total kapitalisasi pasar dari saham-saham pembentuk IHSG terakhir, dibandingkan dengan total kapitalisisasi pasar saham pembentuk IHSG pada tanggal 1 April 1983. Secara sekilas, IHSG seperti angka rata-rata biasa. Akan tetapi, Karena IHSG adalah penjumlahan dari kapitalisasi pasar dari saham yang ada didalamnya, maka saham dengan kapitalisasi pasar yang besar, akan memiliki pengaruh yang lebih besar pada pergerakan IHSG, jika dibandingkan dengan saham yang memiliki kapitalisasi pasar yang kecil. Saham BBCA atau UNVR misalnya, bakal memiliki pengaruh yang lebih besar pada IHSG dibandingkan dengan BNBR atau ZBRA. Fund Manager yang pintar, pasti tahu akan hal ini. Itu sebabnya, dalam mengelola dananya, Fund Manager biasanya lebih cenderung untuk membeli … atau tepatnya ‘mengoleksi’ saham-saham dengan kapitalisasi pasar yang besar untuk bisa mengalahkahkan Benchmark Indeks.

Untuk mengalahkan benchmark, Fund Manager lebih cenderung membeli saham-saham yang kapitalisasinya besar jika dibandingkan dengan saham dengan kapitalisasi pasar yang kecil.

IHSG itu memang ‘tidak berkeadilan’. Yang dimaksud dengan ‘tidak berkeadilan’ ini adalah: saham dengan kapitalisasi pasar yang kecil, pengaruhnya tidak akan sama dengan dengan perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang besar. Ini wajar sebenarnya. Apa ya masuk akal kalau saham dari PT. Telekomunikasi Indonesia kemudian kita samakan pengaruhnya terhadap perekonomian dengan penjual pulsa di pinggir jalan? Apa masuk akal kalau Bank besar seperti BCA kemudian kita samakan pengaruhnya pada pereokonomian seperti BPR yang ada di ruko dekat rumah kita? Tentu saja tidak. Bobot akan kapitalisasi pasar ini penting, karena mencerminkan sebenarnya bobot terhadap perekonomian kita seperti apa.

Sekarang begini.. 10 saham berkapitalisasi terbesar (sering disebut sebagai ‘saham big caps’) pada IHSG, ternyata memiliki bobot sebesar 47% dari IHSG. Artinya: pergerakan dari 10 saham tersebut, menentukan hampir setengah dari pergerakan IHSG. Artinya: kemana IHSG bergerak, akan sangat tergantung dari pergerakan dari pergerakan 10 saham tersebut. Kesepuluh saham tersebut bergerak naik misalnya, IHSG bakal sulit untuk bergerak turun. Dan sebaliknya, jika kesepuluh saham tersebut bergerak turun, maka IHSG sudah hampir pasti tidak akan bergerak naik.

Oke.. 47% masih kurang dari setengah. Tapi kita lihat lagi.. ternyata.. 20 saham berkapitalisasi terbesar pada IHSG, sudah mewakili 59.5 persen dari pergerakan IHSG. Artinya: pergerakan dari 20 saham tersebut, bakal sangat dipengaruhi, atau sangat bergantung pada pergerakan 20 saham pada IHSG tersebut. Terserah saham big caps deh mau kemana, IHSG bakal bergerak ke arah itu.

Tugas dari Fund Manager adalah ‘mengalahkan benchmark’ … nah itu sebabnya .. mau tak mau.. seorang Fund Manager yang baik, yang menggunakan IHSG sebagai benchmarknya, akan memasukkan saham-saham big caps kedalam portfolionya.

Ini karena Fund Manager gak mau kecolongan. Kecolongan ini misalnya seperti ini: Pada suatu hari.. saham data ekonomi membaik.. konsumsi masyarakata meningkat. UNVR bergerak naik. Kalau Fund Manager gak punya saham UNVR, maka kinerja dari portfolionya bakal ‘tertinggal’ jika dibandingkan dengan pergerakan IHSG. Kejadian-kejadian seperti itu yang tidak diinginkan oleh seorang fund manager. (itu sebabnya harga UNVR tetap berada pada P/E Ratio yang tinggi karena Fund Manager memaksakan untuk ‘punya’ agar kinerja portfolionya tidak tertinggal oleh benchmark.

Sekarang kita lihat… saham-saham big caps IHSG itu.. isinya apa saja sih?

Dari data yang diambil pada tanggal 27 Desember 2019 diatas, kita bisa melihat bahwa saham Big Caps IHSG memang didominasi oleh saham-saham Blue Chip. Saham Blue Chip ini adalah saham-saham dengan fundamental yang bagus, aktif ditransaksikan, dan memiliki jumlah saham beredar yang cukup banyak di masyarakat. Dari saham-saham tersebut, yang tidak Blue Chip .. paling hanya TPIA, BRPT, SMMA, dan POLL. Jadi 16 dari 20 saham penggerak IHSG adalah saham Blue Chip… 80% penggerak IHSG adalah saham-saham Blue Chip.

Apalagi yang kita dapat dari daftar diatas? Yah.. kita lihat dari 10 saham Big Caps terbesar deh. Disitu bisa kita lihat, bahwa 4 dari 10 saham Big Caps, adalah saham Bank, sedangkan 2 dari 10 saham tersebut adalah saham-saham perusahaan Rokok. Itu artinya: Penggerak Utama dari IHSG.. sebenarnya adalah saham-saham sektor Bank dan Rokok. Jika ada orang menggerakkan kedua sektor itu, maka dia bisa menggerakkan IHSG kearah yang dia mau.

So… sejauh ini, kita mendapatkan logika pergerakan pasar seperti berikut ini:

Logika Pergerakan Market

Loh Pak Tommy.. katanya kita mau bahas mengenai Saham Syariah.. kok ngomongnya mengenai saham konvensional?

Sebentar.. sabar dulu.. tulisan ini ternyata menjadi terlalu panjang untuk hanya disajikan dalam satu tulisan. Saya nanti akan buat bagian keduanya segera setelah tulisan ini anda nikmati.